Mahasiswa menyandang predikat sebagai Agent of Change, Agent of Control, dan Iron Stock. Peranan mahasiswa dalam mengawal Indonesia yang demokratis memang tidak terbantahkan. Sebagai pewaris bangsa dan negara, mahasiswa selalu menjadi yang terdepan dalam hal berkoar-koar menentang kebijakan pemerintah yang dianggap nyeleweng.
Sejak peristiwa reformasi 1998, sebaiknya kita merenungkan kembali asas pendidikan nasional yang tercantum dalam logo Departemen Pendidikan Nasional, yaitu “Tut Wuri Handayani.” Tentu semoyan tersebut mempunyai relevansi dalam nyawa pendidikan Indonesia. Menurut Prof. H.A.R Tilaar, Tut Wuri Handayani merupakan prinsip dari pedagogik libertarian, yaitu menggugah kesadaran mahasiswa untuk dapat memilih dan bertanggung jawab terhadap perkembangan pribadi maupun dalam mewujudkan tujuan bersama dari kehidupan berbangsa dan bertanah air.
Sebagai remaja – juga mahasiswa, saya merasakan sendiri dentuman akibat dari lahirnya Aufklärung (pencerahan) – biasa diterjemahkan sebagai enlightenment project (proyek pencerahan) – di Benua Amerika sejak abad ke-17 sampai pertengahan abad ke-19. Aufklärung mencetak manusia dengan “bumbu” yang modern. Manusia yang mengidam-idamkan avonturisme, kekuasaan, pertumbuhan, dan transformasi duniawi. Realita seperti ini juga telah ‘membungkam’ frame of thingking mahasiswa. Dan selanjutnya mahasiswa akan digiring ke dalam culture of banatly (budaya kedangkalan) di mana segala informasi yang mereka terima langsung dicerna mentah-mentah, tanpa diproses, diverifikasi, dan didalami dengan logika kerja pikiran.
Yang terlihat saat ini, menurut Abdul Razak, mahasiswa tidak lagi ‘menyentuh’ literatur atau bacaan sebagai frame of reference mereka. Melainkan opinion leader, yaitu orang yang dianggap mewakili suatu kompetensi tertentu. Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, Prof. Komaruddin Hidayat, menjelaskan bahwa hal tersebut disebabkan oleh budaya baca-tulis di Indonesia yang belum mapan. Indonesia terlalu akrab dengan tradisi lisan dan orasi. Di saat budaya baca-tulis masih lemah, Indonesia sudah diserang dengan berbagai produk elektronik dengan visualisasi yang lebih menarik. Maka, dari budaya orasi dan lisan, kita langsung melompat masuk ke budaya menonton. Sehingga mahasiswa – termasuk masyarakat – lndonesia tidak terbentuk sebagai reading society (masyarakat baca).
Virus Hedonisme
Hedonisme memiliki pengertian sebagai suatu kesenangan terhadap hal-hal yang bersifat temporarry (sementara), sehingga orang terjebak untuk tidak mampu bersikap sabar dan gagal membangun asketisme. Dewasa ini mahasiswa – termasuk saya pribadi – lebih “mencintai” tayangan dan hal-hal yang bersifat entertainment, gosip, jingkrak-jingkrak menyaksikan konser musik rock, dan hal-hal yang melemahkan mereka dalam membangun kepribadian mereka sendiri.
Gaya hidup hedonis yang melekat pada mahasiswa terbukti berhasil melonggarkan pertalian pendidikan sebagi bagian dari kebudayaan. Mungkin rasa we felling atau rasa “kekitaan” yang dikumandangkan Benedict Anderson sebagai rasa nasionalisme di dalam suatu imagined community (masyarakat yang diimajinasikan) sedang sekarat dibenak mahasiswa. Pancasila pun sudah jarang menjadi jargon mahasiswa untuk ditelaah, dikaji, apalagi menjalankan nilai-nilai luhur Pancasila. Seharusnya mahasiswa Indonesia mampu berpendidikan ditengah-tengah tradisi tanpa harus bersikap tradisional. Dengan hardcore lokal, mahasiswa akan lebih mampu menembus barikade keilmuan menuju intelektualitas yang global.
Selain mendiskreditkan kebudayaan, virus hedonisme juga telah memangkas makna tri dharma perguruan tinggi yang mengacu pada tiga aspek pengetahuan menurut Perkins, yaitu aquicition, transmission, dan application. Mahasiswa seharusnya familiar dan bergaul dengan penjelajahan pemikiran dan intelektual yang interdisipliner. Namun, realita yang ada sangat bertolak belakang dari seharusnya. Mahasiswa ogah “mengunyah” tulisan-tulisan Lenin, Jean-Jacques Rousseau, Karl Marx, Plato, Aristoteles, Hanafi, Fajrul Rahman, Cak Nur, Tilaar, dan Gus Dur. Mahasiswa sekarang lebih menyukai musik pop daripada musik gamelan, lebih cinta Jeans daripada batik, dan masih banyak lagi hardcore mahasiswa Indonesia yang tidak “Indonesia.”
Gejala hedonisme sudah “melahap” hampir seluruh mahasiswa diperkotaan dan daerah-daerah. Hedonisme juga telah mengerutkan kapasitas moral mahasiswa. Mungkin mahasiswa yang benar-benar “Indonesia” sudah punah di dekade 90-an? Atau mereka belum menyadari bahwa pusat lahirnya peradaban dunia adalah Indonesia? Prof. Arysio dalam bukunya, Atlantis; The Lost Continent Finally Found – saya baru baca separuh – menyuguhkan informasi tentang kebenaran bahwa Atlantis adalah Indonesia, Negara kita. Adalah tugas mahasiswa – termasuk saya – untuk mengulang peradaban Eden, nenek moyang kita. Sekaligus sebagai pewaris tunggal nusantara. Kenapa kita harus memakai “baju” orang barat kalau kita memiliki “baju” sendiri?
Tut Wuri Handayani
Pedagogik libertarian yang “diracik” Prof. H.A.R Tilaar merupakan prinsip yang “fitrah” dari asas pendidikan kita, Tut Wuri Handayani. Sehingga posisi pendidik sebagai pembimbing – yang selalu didepan – akan bergeser menjadi pendorong dari belakang, yaitu Tut Wuri Handayani itu sendiri.
Pendidikan tinggi yang digerakkan mahasiswa, menurut pandangan oppositional pedagogy tulisan Gregory Jay dan Gerald Graft, A Critique of Critical Pedagogy – yang saya kutip dari buku Prof. H.A.R Tilaar – menyatakan bahwa pendidikan tinggi mengusung harapan yang besar untuk menghasilkan manusia-manusia – maksudnya mahasiswa – Indonesia yang dapat berdiri sendiri, yang tidak dapat dihanyutkan tanpa arah oleh arus globalisasi atau kepentingan-kepentingan korporasi internasional.
Sudah saatnya mahasiswa Indonesia “ngaji” Pancasila dan Tut Wuri Handayani serta memosisikan pendidikan didalam tradisi, tanpa harus berpandangan tradisional. Salah satu dari prinsip inside out yang ditawarkan Prof. H.A.R Tilaar mungkin wajib ditanamkan dalam jiwa mahasiswa Indonesia sekarang juga, yaitu proses belajar yang dialogis dengan menggunakan prinsip Tut Wuri Handayani yang mencakup tiga wilayah garapan; life sciences, natural sciences & technoloy, dan information sciences. Ketiga “lahan” garapan tersebut akan subur jika generasi mudanya mampu mengelola dengan baik. Namun “lahan” garapan tersebut akan puso apabila generasi penerusnya tidak mampu mengolah dengan baik. Dengan demikian, hardcore mahasiswa Indonesia yang Indonesia akan lahir.
Sumber : http://sosbud.kompasiana.com/2010/11/25/hardcore-mahasiswa-yang-indonesia/